Siang di hari Sabtu itu terasa panas sekali, tiupan AC mobil yang
menerpa langsung ke arahku dan ‘istriku’ kalah dengan radiasi matahari
yang tembus melalui kaca-kaca jendela.
Aku sedang melaju kencang di jalan tol menuju arah Bogor untuk
suatu keperluan bisnis. Seperti telah direncanakan, kubelokkan mobil ke
arah pom bensin di Sentul.
setelah tadi tak sempat aku mengisinya. Dalam setiap antrian mobil
yang cukup panjang terlihat ada gadis-gadis penjaja minuman berenergi.
Sekilas cukup mencolok karena seragamnya yang cukup kontras dengan warna
sekelilingnya.
Dari sederetan gadis-gadis itu tampak ada seorang yang paling cantik,
putih, cukup serasi dengan warna-warni seragamnya. Ia terlalu manis
untuk bekerja diterik matahari seperti ini walaupun menggunakan topi.
Tatkala tersenyum, senyumnya lebih mengukuhkan lagi kalau di sini
bukanlah tempat yang pantas baginya untuk bekerja.Aku sempat khawatir kalau ia tidak berada di deretanku dan aku masih hanyut dalam berbagai terkaan tentangnya, aku tidak sempat bereaksi ketika ia mengangguk, tersenyum dan menawarkan produknya. Akhirnya dengan wajah memohon ia berkata, “Buka dong kacanya..” Segera aku sadar dengan keadaan dan refleks membuka kaca jendelaku. Istriku hanya memperhatikan, tidak ada komentar.
Meluncurlah kata-kata standar yang ia ucapkan setiap kali bertemu calon pembeli. Suaranya enak didengar, tapi aku tak menyimaknya. Aku malah balik bertanya, “Kamu ngapain kerja di sini?”
“Mom, kita kan masih perlu sekretaris, kenapa tidak dia aja kita coba.”
“Ya, boleh aja”, jawab istriku.
“Gimana mau?” tanyaku kepada gadis itu.
“Mau.. mau Mas”, katanya.
Setelah kenalan sebentar dan saling tukar nomor telepon, kulanjutkan perjalananku setelah mengisi bensin sampai penuh. Istriku akhirnya tahu kalau maksudku yang utama hanyalah ingin ‘berkenalan’ dengannya. Ia sangat setuju dan antusias.Malam sekitar jam 20:00 HP istriku berdering, sesuai pembicaraan ia akan datang menemui kami. Setelah diberi tahu alamat hotel kami, beberapa saat kemudian ia muncul dengan penampilan yang cukup rapi. Ia cepat sekali akrab dengan istriku karena ternyata berasal dari daerah yang sama yaitu **** (edited), Jawa Barat.
Tidak sampai setengah jam kami sudah merasa betul-betul sebagai suatu keluarga yang akrab. Ia sudah berani menerima tawaran kami untuk ikut menginap bersama. Ia sempat pamit sebentar untuk menyuruh sopir salah satu keluarganya untuk pulang saja, dan telepon ke saudaranya bahwa malam itu ia tidak pulang.
Setelah cerita kesana-kemari akhirnya obrolan kami menjurus ke masalah seks. Setelah agak kaku sebentar kemudian suasana mencair kembali. Kini dia mulai menimpali walau agak malu-malu. Singkat cerita dia masih perawan, sudah dijodohkan oleh keluarganya yang ia belum begitu puas.
Keingintahuannya terhadap masalah seks termasuk agak tinggi, tapi pacarnya itu sangat pemalu, termasuk agak dingin dan agak kampungan walau berpendidikan cukup. Kami ceritakan bahwa dalam masalah seks kami selalu terbuka, punya banyak koleksi photo pribadi, bahkan kali ini kami ingin membuat photo ketika ‘bercinta’.
“Udah ah, kita sambil tiduran aja yuk ngobrolnya”, ajak istriku.
“Nih kamu pakai kimono satunya”, kata istriku sambil memberikan
baju inventaris hotel. Sedangkan aku yang tidak ada persiapan untuk
menginap akhirnya hanya menggunakan kaos dan celana dalam. Ia dan
istriku sudah merebahkan badannya di tempat tidur, kemudian aku
menghampiri istriku langsung memeluknya dari atas.
Kucumbu istriku dari mulai bibir, pipi, leher, dan buah dadanya.
Istriku mengerang menikmatinya. Aku menghentikan cumbuanku sejenak
kemudian meminta tamu istimewaku untuk mengambil photo dengan kamera
digital yang selalu kami bawa. Tampak ia agak kikuk, kurang menguasai
keadaan ketika aku menolehnya.
Setelah aku mengajarinya bagaimana menggunakan kamera yang kuberikan
itu, kemudian kuteruskan mencumbu istriku. Dengan telaten kucumbu
istriku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kini tamuku tampaknya sudah
menguasai keadaan, ia dengan leluasa mengintip kami dari lensa kamera
dari segala sudut. Akhirnya istriku mencapai klimaksnya setelah liang
senggamanya kumainkan dengan lidah, dengan jari, dan terakhir dengan
batang istimewaku. Sedangkan aku belum apa-apa.
“Sekarang gantian Rin, kamu yang maen aku yang ngambil photonya”, kata istriku.
“Ah Mbak ini ada-ada aja”, kata Rini malu-malu.
Sebagai laki-laki, aku sangat paham dari bahasa tubuhnya bahwa dia
tidak menolak. Dalam keadaan telanjang bulat aku berdiri dan langsung
memeluk Rini yang sedang memegang kamera. Tangan kirinya ditekuk seperti
akan memegang pinggangku, tapi telapaknya hanya dikepal seolah ragu
atau malu. Kuraih kamera yang masih di tangan kanannya kemudian
kuberikan kepada istriku.
Kini aku lebih leluasa memeluk dan mencumbunya, kuciumi pipi dan
lehernya, sedang tanganku terus menggerayang dari pundak sampai lekukan
pantatnya. Pundaknya beberapakali bergerak merinding kegelian.
Kedua tangannya kini ternyata sudah berani membalas memelukku.
Kemudian aku memangkunya dan merebahkannya di tempat tidur. Kukulum
bibir mungilnya, kuciumi pipinya, kugigit-gigit kecil telinganya,
kemudian kuciumi lehernya punuh sabar dan telaten. Ia hanya mendesah,
kadang menarik nafas panjang dan kadang badannya
menggelinjang-gelinjang.
Tidak terlalu susah aku membuka kimononya, sejenak kemudian tampak pemandangan yang cukup mempesona. Dua bukit yang cukup segar terbungkus rapi dalam BH yang pas dengan ukurannya. Kulitnya putih, bersih dengan postur badan yang cukup indah. Sejenak aku menoleh ke bawah, tampak pahanya cukup menawan. Sementara itu onggokan kecil di selangkangan pahanya yang terbungkus CD menambah panorama keindahan.Ia tidak menolak ketika aku membuka BH-nya, demikian juga ketika aku melepaskan kimononya melewati kedua tangannya. Kuteruskan permainanku dengan mengitari sekitar bukit-bukit segar itu. Seluruh titik di bagian atasnya telah kutelusuri tidak ada yang terlewatkan, kini kedua bukti itu kuremas perlahan. Ia mendesah, “Eeehhh..”
Tatkala kukulum puting susunya, badannya refleks bergerak-gerak, desahnya pun semakin jelas terdengar. Kuulangi lagi cumbuanku dari mulai mengulum bibirnya, mencium pipinya, kemudian lehernya. Kemudian kuciumi lagi bukit-bukit indah itu, dan kemudian kupermainkan kedua puting susunya dengan lidahku. Gelinjangnya semakin terasa bergerak mengiringi desahannya yang terasa merdu sekali.
Petualanganku kuteruskan ke bagian bawahnya. Ia mencegah ketika aku akan membuka CD-nya yang merupakan pakaian satu-satunya yang tersisa. “Ya nggak usah dibuka” ujarku, “Aku elus-elus aja ya bagian atasnya pakai punyaku”, bujukku. Ia tidak bereaksi, tapi aku langsung saja menyingsingkan CD-nya ke bawah. Tampaklah dua bibir yang mengapit lembah cintanya dihiasi bulu-bulu tipis. Kupegang burungku sambil duduk mengangkang di atas kedua pahanya, kemudian kuelus-eluskan burung itu ke ujung lembah yang sebagian masih tertutup CD. Agak lama dengan permainan itu, akhirnya mungkin karena ia juga penasaran, maka ia tidak menolak ketika kulepaskan CD-nya.
Kini kami sama-sama telanjang, tak satu helai benang pun yang tersisa. Kuteruskan permainan burungku dengan lebih leluasa. Tak lama kemudian cairan kenikmatannya pun sudah meleleh menyatakan kehadirannya. Burungku pun lebih lancar menjelajah. Tapi karena lembahnya masih perawan agak susah juga untuk menembusnya.Ketika kucoba untuk memasukkan burungku ke dalam lembah sorganya, tampak bibir-bibir kenikmatannya ikut terdorong bersama kepala burungku. Menyadari alam yang dilaluinya belum pernah dijamah, aku cukup sabar untuk melakukan permainan sampai lembah kenikmatannya betul-betul menerimanya secara alami. Gelinjang, desahan, dan ekspresi wajahnya yang sedang menahan kenikmatan membuatku semakin bersemangat dan lebih percaya diri untuk tidak segera ejakulasi. Ia sudah tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Akhirnya kepala burungku berhasil menembus lubang kenikmatan itu.
Kuteruskan permainanku dengan mengeluarkan dan memasukkan lagi kepala
burungku. Ia merintih kenikmatan, ia pasrah saja dengan keadaan yang
terjadi, karena itu aku yakin bahwa rintihan itu bukan rintihan
kesakitan, kalaupun ada, maka akan kalah dengan kenikmatan yang
diperolehnya. Selanjutnya kulihat burung yang beruntung itu lebih
mendesak ke dalam. Aku sudah tidak tahan untuk memasukkan seluruh
burungku ke tempatnya yang terindah.
Kemudian kurebahkan badanku di atas tubuhnya yang indah, kuciumi
pipinya sambil pantatku kugerakkan naik turun. Sementara burungku lebih
jauh menjangkau ke dalam lembah nikmatnya. Akhirnya seluruh berat
badanku kuhempaskan ke tubuh mungil itu. Dan.., “Blesss….” seluruh
burungku masuk ke dalam surga dunia yang indah. Ia mengerang, gerakan
burungku pun segera kuhentikan sampai liang kewanitaannya menyesuaikan
dengan situasi yang baru.
Setelah agak lama aku pun mulai lagi memainkan gerakan-gerakanku
dengan gentle. Kini ia mulai mengikuti iramaku dengan menggerak-gerakkan
pinggulnya. Selang berapa lama kedua tangannya lekat mencengkram
punggungku, kakinya ikut menjepit kedua kakiku. Kemudian muncul erangan
panjang diikuti denyut-denyut dari lembah sorganya. “Eeehhh…aahhhh”
desahnya. Aku pun sudah tidak tahan lagi untuk menumpahkan seluruh
kenikmatan, segera kucabut burungku kemudian kumuntahkan di luar dengan
menekan ke selangkangannya. “Eeehhh…” erangku juga. Kami berdua menarik
nafas panjang.Setelah agak lama kemudian aku duduk, kuraih kaos dalamku kemudian aku mengelap selangkangnya yang penuh dengan air kenikmatanku. Tampak tempat tidurnya basah oleh cairan-cairan bercampur bercak-bercak merah. Ia pun segera duduk, sejenak dari raut wajahnya tampak keraguan terhadap situasi yang telah dialaminya. Aku dan istriku memberi keyakinan untuk tidak menyesali apa yang pernah terjadi
Besok paginya aku sempat bermain lagi dengannya sebelum check out. Betul-betul suatu akhir pekan yang susah dilupakan. Akhirnya ia kutitipkan bekerja di perusahaan temanku
0 comments:
Post a Comment